Breaking News
Loading...
MEDIA TIPIKOR INDONESIA & Garda Tipikor Indonesia Banyuwangi" Turut Berduka atas Terjadinya Bom Prancis"
Selasa, 12 Maret 2013

Fenomena Banyuwangi, Dua mantan Bupati Banyuwangi Terjerat Korupsi

22.05

"Lahirnya Otonomi Daerah justru banyak Kepala Daerah dan mantan Kepala Daerah yang Terbelit Kasus Tindak Pidana Korupsi, dua mantan Bupati Banyuwangi telah menjadi korban keganasan Korupsi"

Semenjak bergulirnya Otonomi Daerah, berdampak kepada banyaknya Kepala Daerah ( baca, Gubernur, Bupati dan Walikota ) yang terjerat kasus korupsi, mengapa demikian ?

Lahirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang mengusung Otonomi Daerah (Otda), sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda), memberikan ruang gerak yang cukup luas bagi Kepala Daerah tersebut untuk dapat menggali dan mengembangkan potensi daerahnya masing-masing, dengan mengatas namakan amanat undang-undang. Kepala Daerah mempunyai keleluasaan untuk mengelola setiap aset daerah yang dipimpinnya, namun tetap dalam batasan-batasan tertentu.

Akan tetapi sungguh sangat ironis, kewenangan dan keleluasaan yang dimilikinya, justru menjadikannya lupa akan aturan dan peraturan yang harus dipatuhinya, malahan hal tersebut dijadikan kesempatan untuk menggarong uang rakyat yang akhirnya membuatnya masuk dalam jurang kenistaan, yakni terjerembab dalam pusaran prilaku tindakan yang mengarah kepada perbuatan melawan hukum dengan melakukan Tindak Pidana Korupsi.

Seperti halnya yang terjadi di Kabupaten Banyuwangi, semenjak Undang-Undang Otonomi Daerah digulirkan, dua mantan Bupati Banyuwangi dalam periode yang berurutan harus mendekam dan merasakan pengapnya  ruang penjara.

Divonisnya Ratna Ani Lestari, mantan Bupati Banyuwangi periode tahun 2005-2010 dengan 5 tahun penjara serta denda Rp. 150 juta subsider 3 bulan kurungan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya, dalam kasus korupsi pembangunan Lapangan Terbang (Lapter) Blimbingsari Banyuwangi tahun 2006-2007, menambah deretan panjang daftar Kepala Daerah, pejabat dan mantan pejabat yang terkontaminasi sindrom korupsi.

Pasal yang disangkakan terhadap terdakwa yakni Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Undang-Undang Pasal 3 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan, setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

"Terdakwa Ratna yang menjabat sebagai Bupati Banyuwangi periode tahun 2005-2010 telah mengakibatkan kerugian negara senilai Rp19,7 miliar," kata Ketua majelis hakim Ronius.

Vonis ini lebih ringan daripada tuntutan jaksa, Sebelumnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) sempat menjerat Ratna dengan pasal berlapis yakni Pasal 3 ayat (1) Jo Pasal 18 UU Tipikor Jo 55 ayat (1) ke-1 KUHP, subsider pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. JPU menuntut dengan hukuman sembilan tahun penjara dan denda Rp. 500 juta, subsider enam bulan kurungan penjara.

Kasus ini sendiri bermula saat Ratna menjadi Ketua Tim Panitia Pembebasan Lahan Lapangan Terbang. Oleh dia, harga lahan ditetapkan Rp60 ribu per meter persegi. Pada 2007, harga lahan berubah menjadi Rp70 ribu per meter persegi.

"Padahal harga tanah di daerah itu hanyalah Rp30 ribu pada 2006 dan Rp35 ribu pada 2007. Sehingga negara dirugikan dalam hal ini," kata Ronius.

Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan bahwa penetapan harga lahan tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum.

Ratna terbukti telah merugikan negara sebesar Rp. 19.7 miliar dalam kasus pembebasan tanah untuk Lapangan Terbang Blimbingsari Banyuwangi tersebut. Angka tersebut mengacu pada hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan Surabaya yang menduga Ratna telah melakukan markup atau penggelembungan harga, sehingga ada kemahalan harga atau nilai ganti ruginya lebih tinggi dari pada nilai objek pajaknya. Majelis hakim menilai kebijakan Ratna dengan melepas lahan dianggap merugikan negara dan memperkaya diri sendiri dan orang lain.

Sungguh sangat miris melihat kondisi negeri yang gema ripah loh jinawi, namun rakyatnya masih banyak yang hidupnya di bawah garis kemiskinan, karena prilaku para pejabatnya, baik dari kalangan eksekutif maupun legislatif yang bermental korup. Apapun di jadikan lahan untuk memperkaya diri maupun kelompok, walaupun sudah banyak yang ditangkap dan harus meringkuk di dalam penjara, namun hal tersebut tidak dijadikan pelajaran untuk bisa bersikap dan berprilaku baik dalam mengemban amanat rakyat.

Korupsi kini tidak lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi, akan tetapi dengan gamblang, tanpa ada perasaan malu, bahwa perbuatannya telah mengkhianati dan melukai perasaan rakyat.

Terseret dalam kasus ratna adalah mantan Kepala Bagian Umum yang juga pernah menjabat Kepala Dinas Peternakan Budiyanto, dan mantan Kepala Dinas Perhubungan Bambang Wahyudi.

Bupati sebelum Ratna, Ir. Samsul Hadi , juga terbelit kasus yang sama, yakni tindak pidana korupsi pembebasan lapter Banyuwangi. Sebagai Ketua Panitia pembebasan lahan untuk bandara, Samsul di dakwa tidak pernah menghadiri rapat, tetapi ikut menandatangani berita acara kehadiran dan menerima honor setiap bulannya, sehingga negara telah dirugikan sebesar Rp. 21.2 miliar, perbuatan Samsul di anggap telah melanggar pasal 2 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Bersama Samsul Hadi. pejabat lainnya yang terlibat adalah mantan kepala Badan Pertanahan Banyuwangi (BPN) Banyuwangi, Nawolo Prasetyo, mantan Pelaksana Tugas kepala BPN, Suharmo, mantan sekab Sujiharto, mantan kepala Bagian Perlengkapan Sugiharto, mantan Camat Kabat Sugeng Siswanto, dan mantan Kepala Desa Pengantigan Efendi.

Ratna dan mereka semua sudah diadili dan menghuni pengapnya Lembaga Pemasyarakatan Banyuwangi dan sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht).

Dua mantan orang nomor satu Banyuwangi dalam era yang berurutan harus menjadi pesakitan dan mejadi penghuni hotel prodeo dalam kasus yang sama, yakni sama-sama terlibat kasus Tindak Pemberantasan Korupsi. Pertanda apakah ini, mengapa bisa terjadi ?

Korupsi yang dilakukan di Kabupaten paling ujung timur ini telah memakan korban dua mantan orang nomor satu di Kabupaten Banyuwangi. Kedua mantan Bupati tersebut kini harus hidup dalam keterasingan dan terpisah dengan keluarganya. Samsul Hadi mendekam di LP Banyuwangi, sementara Ratna meringkuk di Rutan Medaeng, Waru Sidoarjo,

Lalu bagaimanakah dengan Bupati saat ini, H. Abdullah Azwar Anas, Msi, akankah menyusul dikemudian hari ? karena rentetan kasus yang juga sedang mengincarnya.

1. Anas dilaporkan ke KPK terkait dugaan korupsi Angaran Pembelanjaan Belanja Daerah (APBD II) tahun 2011 pada proyek Ruang Terbuka (RTH) dalam lingkup Dinas Kebersihan dan Pertamanan (Dinas KPK) Kabupaten Banyuwangi.

"Dana digunakan Taman Kota. Padahal Perubahan APBD hanya boleh untuk kebutuhan yang bersifat emergency," kata Koordinator Sekretariat Bersama Lembaga Swadaya Masyarakat Banyuwangi, Mas Soeroso, pada 16 Februari 2012 .

Dugaan korupsi Bupati Banyuwangi dilaporkan oleh dua organisasi. Pertama, LSM Banyuwangi melaporkan pada 16 Februari dan 7 Maret, yang kedua, oleh Lembaga Pemerhati Penggunaan Anggaran Negara (Lappan) pada 5 April 2012 lalu.

"Kami menduga Abdullah Azwar Anas telah melakukan kebijakan sewenang-wenang dengan mengeluarkan kebijakan tentang RTH di daerah Banyuwangi tanpa dukungan proses Musrembang," kata Koordinator LAPPAN, Suhendra di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (5/4/2012).

2. Kasus Jalan Poros Desa (JPD) yang disinyalir telah merugikan keuangan negara hingga mencapai Rp. 57,4 miliar dan kasusnya telah dilaporkan ke Kejagung.

Namun sampai saat ini KPK maupun Kejagung belum bersikap dan berencana untuk memeriksanya, meski banyak pihak yang telah mendorong kedua lembaga tersebut untuk segera mengusut dan melakukan tindakan.

Mengapa ketika Otonomi Daerah bergulir, justru semakin banyak para pejabat dan mantan pejabat harus terjerat kasus korupsi ? Mengapa Banyuwangi meradang? Masih akan berlanjutkah fenomena ini dalam episode cerita lainnya? ( Media Tipikor Indonesia Team )

0 comments :

Posting Komentar

Terima kasih atas Kunjungan anda, Mohon tinggalkan Komentar
 
Toggle Footer
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...